Jumat, 25 November 2011

PERMAINAN TRADISIONAL RAKYAT MELAYU 
1. Permainan Gasing

Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih eksis  meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman.  Secara umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat,  lonjong,  piring terbang (pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Gasing dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga gasing tersebut berputar dengan kencang. Aturan permainan gasing ini tergantung pada para pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.


2. Permainan Congkak
Selain gasing, congkak juga adalah salah satu permainan tradisional melayu.
congkak pula, terkenal di kalangan kanak-kanak perempuan. haha, saya rindu bermain dengan congkak. rasanya sudah lama saya tidak lagi memegang guli dan meletakkan di lobang kayu yang tersedia itu.
sampai disini sahaja lah coretan saya hari ini.

3. Permainan Layang - Layang Wau
 

Layang Wau, permainan tradisional Melayu yang terkenal pada kalangan orang-orang dewasa. Permainan wau ini dimain sama seperti permainan layang-layang. Ia dimain secara individual. Permainan wau ini harus dimain di tempat yang luas dan lebar supaya waunya tidak tersangkut dimana-mana seperti pokok dan bumbung. Permainan ini gemar dimain oleh orang-orang dewasa pada zaman dahulu. Kini, wau jarang dimain, layang-layang pula diambil perhatian terhadap orang ramai. Dan layang layang bukan sahaja dimain oleh orang dewasa malah budak-budak kecil juga suka bermain permainan layang-layang ini.

4. Permainan Guli / Kelereng 

Sejarah Kelereng: Orang Betawi menyebut kelereng dengan nama gundu. Orang Jawa, neker. Di Sunda, kaleci. Palembang, ekar, di Banjar, kleker. Nah, ternyata, kelereng juga punya sejarah. Ini kuketahui saat membaca majalah Intisari edisi Desember 2004, rubrik asal-usul, hal 92. Sejak abad ke-12, di Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil. Lain halnya di Belanda, para Sinyo-Sinyo itu menyebutnya
Kelereng atau gundu (atau dalam bahasa Jawa disebut nèker) adalah mainan kecil berbentuk bulat yang terbuat dari kaca, tanah liat, atau agate. Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1.25 cm) dari ujung ke ujung. Kelereng dapat dimainkan sebagai permainan anak, dan kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.


5. Permainan Bola Bekel

Dengan sebuah bola karet kecil dan biji kuningan, paling sedikit dua anak bisa memainkan bekel. Diundi dulu, untuk menentukan urutan pemain. Dasar permainan ini adalah mengubah posisi biji kuningan setelah bola dilambungkan ke atas. Biasanya dimainkan tiga babak, dari mengambil satu biji, lalu dua biji hingga tiga biji kuningan sekaligus. Mengubah biji dari posisi duduk ke berbaring atau sebaliknya. Dari permainan ini kita tahu, ada “aturan’ yang selalu harus kita ikuti. Sementara bila melanggarnya, kita salah dan kalah.



Masih banyak lagi permainan tradisional melayu lainnya yang sudah mulai hilang, jadi ingat masa kecil, hehehehe...

6. Permainan Kaki Anggau

 

7. Permainan Cob Benteng/Petak Umpet

 7
8. Permainan Upih Pinang

9. Permainan Kaleng


10. Permainan Elon


11. Permainan Engklek


Jumat, 28 Oktober 2011

Sejarah Lokal Kerajaan Siak


Perubahan negara ke arah yang lebih maju, hendaknya diiringi dengan keinginan generasi penerus untuk tidak melupakan sejarah bangsanya.
 
Soekarno pernah mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa-jasa pahlawannya.”

Semboyan ini perlu diabadikan karena banyaknya generasi muda yang tidak mengetahui sejarah bangsanya. Bahkan para pelaku sejarah banyak yang telah tiada dan bukti-bukti sejarah telah banyak yang rusak atau hilang, sehingga perlu kiranya kita menggeneralisasikan sejarah kepada yang lebih muda.

Salah satu cara menggeneralisasikan sejarah ini, yaitu dengan cara menggali, menyusun dan menulis kembali sumber-sumber sejarah yang ada seobjektif mungkin menjadi sebuah buku sejarah yang lebih refresentatif sehingga dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi penerus bangsa.

Di Siak Sri Indrapura, misalnya banyak sumber-sumber sejarah seperti; dokumen, arsip dan catatan-catatan sejarah lainnya yang belum tergarap dengan baik. Sumber sejarah tersebut belum terkumpul dan masih berserakan di daerah Siak, Riau maupun di luar Riau, bahkan ada yang terdapat di luar negeri.

Secara keseluruhan sebenarnya sejarah Kerajaan Siak belum terungkap sama sekali, bahkan dalam buku Sejarah Riau (Mukhtar Lutfi, dkk, 1977), tentang Kerajaan Siak hanya terdapat beberapa lembar pembahasan saja, sehingga belum dapat dikatakan mewakili sejarah Kerajaan Siak secara utuh.

Nilai, jiwa dan semangat kejuangan Kerajaan Siak belum tergambar sebagai refleksi perjuangan rakyat Siak yang berjiwa kesatria, bahkan sebagian pejuang menyandang sebutan kepahlawanan. Oleh karena itu, sejarah Kerajaan Siak perlu segera digali melalui kegiatan penelitian yang direncanakan ini.

Pada tahun 1980-an banyak diterbitkan buku-buku sejarah yang berhubungan dengan daerah Siak dan Riau pada umumnya seperti; Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di Riau oleh Suwardi MS dkk, (1981). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau oleh Marlely Rahim (1983).

Menegakkan Merah Putih di Daerah Riau oleh Hasan Basri (1985). Raja Ali Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda oleh Rustam S Abrus (1989). Sultan Syarif Kasim II Sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemda Bengkalis (1997).

Walaupun buku di atas sudah banyak yang terbit, tetapi dalam jumlah yang masih terbatas, sehingga masyarakat belum banyak mengenal dan mengetahui secara luas tentang sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura khususnya, karena buku sejarah yang diterbitkan tersebut lebih banyak mengupas sejarah Riau.

Menurut Husein Djajadiningrat, sejarah lokal mempunyai arti penting sebagai sumber sejarah. Untuk itu, sumber sejarah lokal Siak yang tersusun dalam buku-buku di atas belum mampu menunjukkan semangat kejuangan Rakyat Siak yang lebih refresentatif untuk dijadikan pegangan sejarah bagi generasi muda khususnya di daerah Siak dan Riau pada umumnya.

Kalau kita bandingkan pada daerah lain di luar Riau, seperti daerah Sumatera Utara dan Sumatera Barat mereka memiliki sumber sejarah yang lebih refresentatif dan memuat berbagai informasi, data yang relatif akurat dan dapat dibaca, dipelajari serta dipahami oleh generasi mendatang.

Pada tahun 2002-2004 para sejarahwan yang tergabung di dalam Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Riau telah berusaha menggali sumber sejarah Riau yang ada diberbagai tempat di wilayah Indonesia seperti; Padang, Medan, Jogjakarta, dan Museum Nasional Jakarta. Namun data atau informasi tentang Kerajaan Siak Sri Indrapura belum terungkap secara keseluruhan.

Pada Arsip Nasional Jakarta terdapat sumber sejarah lainnya, mengenai laporan dan perjanjian kerajaan-kerajaan Riau umumnya dan Siak khususnya dengan pemerintahan Belanda (VOC), Inggris dan juga telah terkumpul sumber sejarah lisan yang perlu dikaji ulang terutama yang terekam dalam media audio visual.

Puntowidjoyo dalam bukunya Metode Sejarah (1994), mengatakan bahwa pada zaman modern ini banyak permasalahan sejarah yang tidak terungkap dalam dokumen-dokumen, sehingga sejarah lisan dapat dijadikan sebagai metode dan bahan dokumenter.

Sejarah telah membuktikan, bahwa nilai-nilai kejuangan, keperintisan, kepeloporan dan kepahlawanan dari pendukung budaya Melayu telah membuktikan dirinya sebagai bagian dari budaya bangsa yang besar dan dihormati sehigga perlu untuk dilestarikan.

Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Johor.

Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecil dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama di bidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan mahkota kerajaan serta uang sebesar 10.000 gulden.

Sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Mahratu.

Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar kehormatan kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Di awal pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura.

Semua data di atas menunjukkan demikian hebatnya sejarah Melayu Riau masa lalu. Namun, tatkala kembali ditanyakan pada generasi hari ini, maka sangat sedikit yang mengerti (bahkan mungkin tak tahu sama sekali).

Hal tersebut disebabkan karena data historis tersebut tidak terekam secara baik dalam kurikulum dan materi ajar di lembaga pendidikan di Bumi Lancang Kuning ini. Allahu a’lam bi al-Shawwab.***

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia



Istana Asherayah Al-Hasyimiyah zaman Raja Siak



Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia



Istana Asherayah Al-Hasyimiyah saat ini



Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia


Sungai Siak yang mengalir di kota Siak Sri Indrapura dilihat dari jembatan Tengku Agung Sulthanah Latifah


Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.


Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaPada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Dan oleh bangsa Eropa menyebutnya sebagai The Sun Palace From East (Istana Matahari Timur).


Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaPada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSultan As-Sayyidi Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim.

Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri sperti dulu?, bergabung dg Belanda? atau bergabung dg Republik? Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu SSK agar bergabung dg Republik karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri.Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dg Rep. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk IndonesiaSultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama2 dg para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa-daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sediri pd jaman pendudukan Belanda di nusantara).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.


Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, Warisan Emas Untuk Indonesia
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.
____________________
Source: Krishadiawan

WISATA SIAK

ISTANA SIAK, Istana Siak adalah bukti sejarah kebesaran Kerajaan Melayu Islam terbesar di Riau. Masa Jaya Kerajaan Siak berawal dari abad ke -16 sampai abad ke - 20, dan silsilah Sultan-Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 M dengan 12 Sultan yang pernah bertahta. Kini dapat kita lihat peninggalan Kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifudin pada tahun 1889 M dengan nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah.



Istana Asserayyah Al Hasyimiah ini disebut juga "Istana Matahari Timur", ditukangi oleh Arsitek dari Jerman yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa, India dan Arab denganperpaduan Melayu Tradisional. Keindahan Istana terlihat mulai dari pintu gerbang istana yang dihiasi sepasang burung elang menyambar dengan mata yang memancar tajam yang terbuat dari perunggu dan ada 4 buah pilar istana diujung puncaknya. Burung Elang ini merupakan tanda kebesaran dan keberanian serta Kemegahan Kerajaan Siak pada masanya.

Interior Istana :






















Jembatan Teungku Agung Sultanah Latifah :



Makam Raja :



Danau Zamrud :

sejarah mesjid penyengat

Namanya Masjid Raya Sultan Riau. Orang biasa memanggilnya dengan Masjid Pulau Penyengat. Ada juga yang menyebut Masjid Putih Telur. Nama Penyengat karena lokasi masjid tersebut memang berada di sebuah pulau kecil di Riau, pulau Penyengat. Menuju lokasi masjid ini cukup mudah dan menarik. Dari Batam, perjalanan dilakukan dengan menaiki kapal penyeberangan feri menuju Tanjungpinang. Lama perjalanan sekitar satu jam.Dari Tanjungpinang, perjalanan diteruskan dengan menaiki perahu kecil yang bernama Pompong menuju pulau Penyengat. Di sini, pengunjung bisa menikmati keindahan laut kepulauan Riau.Sekitar lima belas menit, kubah masjid Penyengat mulai terlihat jelas. Suatu pemandangan yang memadukan antara keindahan alam dengan ketinggian religiusitas lingkungan sekitar. Akhirnya, tampaklah masjid itu dengan utuh.Warna kuning tampak dominan. Ada 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat shalat. Masjid yang tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter. Keindahan arsitektur masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Sejarahnya, pada tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah. Bersamaan dengan itu, dibangun Masjid Sultan. Cuma waktu itu, masjid hanya terbuat dari kayu. Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja'far membangun Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya. Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid. Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan. Menurut mereka, dengan campuran putih telur, bangunan akan lebih kokoh dan tahan lama. Dari situlah, masyarakat sekitar juga menyebut masjid penyengat ini dengan masjid putih telur. Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh putera Riau yang dikirim belajar ke Turki pada tahun 1867. Namanya, Abdurrahman Istambul. Ada Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid. Namun, tak diperlihatkan kepada umum karena khawatir sudah terlalu rentan. Ditulis pada tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid.

sejarah raja-raja kerajaan siak


Kerajaan Siak Sri Indrapura berdiri tahun 1723-1946 M yang didirikan oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah, putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dan isterinya Encik Pong. Dengan Pusat Kerajaan di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat disitu. Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan di Buantan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah yang dipertuan Raja Kecil, telah menempatkan dasar dari sebuah kerajaan yang kelak akan berkembang dibawah pemerintahan keturunannya. Hubungan perdagangan diatur dengan baik sehingga negeri yang baru berkembang itu berkembang dengan cepat dan dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Pesisir Timur Sumatera. Sultan mangkat pada tahun 1746M dan diberi gelar Mahrum Buantan.

Disamping itu, Sultan ini menjadikan Agama Islam sebagai agama kerajaan yang bermazhab Syafei, seluruh adat diatur menurut hukum Syarak. Sultan ini mempunyai tiga orang putera, yaitu Tengku Alam bergelar Yang di Pertuan Muda, Tengku Tengah (meninggal sebelum dewasa) dan Tengku Buang Asmara Bergelar Tengku Mahkota. Diakhir hayatnya, meletus perang saudara yang mana kedua puteranya berselisih faham. Hal ini menyebabkan Tengku Alam yang dipertuan Muda, akhirnya meninggalkan Buantan. Sultan ini mangkat pada tahun 1746M dan deberi gelar Mahrum Buantan. Pemerintahan Kerajaan Siak dilanjutkan oleh Tengku Buang Asmara, Tengku Mahkota dengan gelar Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765M). Sekitar tahun 1750M, Sultan memindahkan ibukota ke hulu negeri Buantan pada sebuah tempat bernama Mempura yang terletak pada sebuah anak sungai yang bernama Sungai Mempura Besar. Setelah beliau memerintah selama kurang lebih 19 tahun dan setelah Kerajaan Siak kukuh, pada tahun 1765 beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Mempura Besar. 

Pada masa Sultan ke IX Pemerintahan Kerajaan Siak dipimpin oleh Said Ismail dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864). Beliau adalah menantu dari Sultan Said Ali. Pada masa beliau pusat Kerajaan dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura dan ditandatanganinya "Traktat Siak" dengan Hindia Belanda yang berisi bahwa Kerajaan Siak takluk kepada Belanda. Beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Indrapura.Selanjutnya Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (1864-1889M) yang memerintah di Kerajaan Siak. Pada masa beliau, Mahkota Kerajaan Siak dibuat, sehingga pada saat beliau wafat dianugrahi gelar Marhum Mahkota. Pada masa Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908 M, maka dibangunlah Istana yang megah nan indah yang terletak di Kota Siak dan Istana ini diberi nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang dibangunpada tahun 1889 M. Pembuatan Istana ditukangi oleh seorang arsitektur Jerman yang bernama Vande Morte. Beliau juga mendirikan Balai Kerapatan Tinggi ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja Sultan, Aparatur Pemerintahan serta tempat Penobatan dan Mahkamah pengadilan. Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Mangkat pada tahun 1908 di Singapura dan jenazahnya dibawa ke Siak yang kemudian dimakamkan di komplek Pemakaman Koto Tinggi.Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi, dan dimasa inilalah beliau berkesempatan melawat ke EROPA yaitu Jerman dan Belanda. Setelahwafat, beliau digantikan oleh puteranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan ke -12 dengan gelar Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir dekenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani ( Sultan Syarif Kasim II ) Bersamaan di proklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, Beliaupun mengibarkan Bendera Merah Putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa untuk menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan uang sebesar Sepulih Ribu Gulden.Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai Pekanbaru pada tahun 1968. Beliau ini meninggalkan keturunan baik permaisuri Pertama Tengku Agung maupun permaisuri Kedua Tengku Maharatu.

Berikut ini urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak :
1. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 - 1744)
2. Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760)
3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 - 1761)
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5. Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu’azam Syah (1766 - 1779)
6. Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 - 1781)
7. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 - 1784)
8. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 - 1811)
9. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 - 1864)
11. Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 - 1889)
12. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 - 1908)
13. Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 - 1946).

Struktur Pemerintahan

Sultan merupakan pemegang pucuk pemerintahan. Ia didampingi oleh Dewan Kerajaan. Dewan kerajaan terdiri dari Orang-orang Besar Kerajaan yang berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan dan penasihat utama Sultan. Orang-Orang Besar itu adalah:
1. Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa.
2. Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Pekerma Raja.
3. Datuk Pesisir dengan gelar Maharaja Ketuangsa.
4. Datuk Laksamana Raja Di Laut.

Di samping itu, ada pula pembesar-pembesar kerajaan yang bertugas membantu Sultan, anggotanya terdiri dari:
* Panglima Perang.
* Datuk Hamba Raja.
* Datuk Bintara Kiri.
* Datuk Bintara Kanan.
* Datuk Bendahara.

Pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya dan Batin. Jabatan Penghulu, Orang Kaya dan Batin berada pada tingkat yang sama. Penghulu tidak mempunyai hutan tanah, ia dibantu oleh:
1. Sangko Penghulu, yakni wakil Penghulu.
2. Malim Penghulu, yakni pembantu urusan kepercayaan/agama.
3. Lelo Penghulu, yakni pembantu urusan adat dan sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang.

Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku asli. Jabatan ini didapat turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat) dan dibantu oleh:
1. Tongkat, pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap Sultan.
2. Monti, pembantu Batin urusan adat.
3. Antan-antan, pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti kalau keduanya berhalangan.

Pada masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang aliran Sungai Siak, yaitu:
1. Perbatinan Gasib.
2. Perbatinan Senapelan.
3. Perbatinan Sejaleh.
4. Perbatinan Perawang.

Perbatinan sebelah selatan kuala Sungai Siak sebagai berikut:
1. Perbatinan Sakai.
2. Perbatinan Petalangan.

Perbatinan di pulau-pulau sebagai berikut:
1. Perbatinan Tebing Tinggi.
2. Perbatinan Senggoro.
3. Perbatinan Merbau.
4. Perbatinan Rangsang.

Daerah asli yang kepala sukunya disebut penghulu ialah:
* Siak Kecil.
* Siak Besar.
* Betung.
* Rempah.

sumber :
Netscher, E. Belanda di Johor dan Siak: 1602-1865. Pemda Tk. II Siak dan Yayasan Arkeologi dan Sejarah  “Bina Pusaka”.

Menelitik Sejarah Kerajaan Gunung Sahilan



Sejarah Singkat Kerajaan Gunung Sahilan


Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.

Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.

“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.

Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.

Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.

“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.

“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.

Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).

Kamis, 27 Oktober 2011

"Sejarah dan Budaya"

Menelitik Sejarah Kerajaan Pelalawan



Wilayah kerajaan pelalawan yang sekarang menjadi kabupaten pelalawan,berawal dari kerajaan pekantua yang didirikan oleh maharaja indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas orang besar kerajaan temasik (singapura), setelah kerajaan temasik dikalahkan oleh majapahit dipenghujung abad XIV, Sedangkan Raja Temasik terakhir yang bernama Permaisura (prameswara) mengundurkan dirinya ke tanah semenanjung,dan mendirikan Kerajaan Malaka.
Maharaja Indera (1380-1420) membangun Kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar,sekarang termasuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan) pada tempat bernama “ Pematang Tuo” dan kerajaannya dinamakan “Pekantua&rdquo.

Setelah Maharaja Indera, Kerajaan Pekantua di pimpin oleh Maharaja Pura (91420-1445 M) dan Maharaja Jaya (1480-1505 M). Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah PP (1459-1477 M) menyerang Kerajaan Pekantua dan Kerajaan Pekantua dapat dikalahkan. Selanjutnya Sultan Mansyur Syah (1505-1511 M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penabalan, di umumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi “ Kerajaan Pekantua Kampar & ldquo;.

Setelah Munawar Syah Mangkat, di angkatlah Puteranya Raja Abdullah, Menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Di malaka, Sultan Mansyur Mangkat, di gantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Kerajaan Malaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar. Raja Abdullah (1511-1515 M), yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan di buang ke Gowa. Oleh karena itulah, Ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di pekantua (1526 M) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M ) dan ketika beliau mangkat diberi gelar “Marhum Kampar” yang makamnya terletak di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar “Sultan Alauddin Riayat Syah II &ldquo. Tak lama kemudian beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung mendirikan Negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M) yang bernama Tun Perkasa dengan Gelar “Raja muda Tun Perkasa &ldquo. Selanjutnya kerajaan Pekantua Kampar diperintah oleh Tun Hitam (1551-1575 M), lalu Tun Megat (1575-1590 M).

Ketika kerajaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar untuk menjadi raja. Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar &ldquo Maharaja Dinda&rdquo (1590-1630 M).

Selanjutnya, beliau memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (Sekarang menjadi Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan). Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantikan oleh Putranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh putranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa Maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemindahan pusat Kerajaan Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai kampar, dan nama Kerajaan “ Pekantua Kampar &ldquo diganti menjadi kerajaan & ldquo;PELALAWAN&rdquo. Didalam upacara itu, gelar beliau yang semula Maharaja Dinda II di sempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja Lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesat karena membuat hubungan dagang dengan daerah sekitarnya. Ramainya Perdagangan dikawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor, setelah Sultan Mahmud Syah II di Kerajaan Johor mangkat, arus perdagangan beralih ke kawasan Pesisir Sumatera bagian timur. Sultan Mahmud Syah II mangkat di bunuh oleh Laksemana Megat Srirama yang tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Tak lama datang Raja Kecil yang menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai Putra Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putra Sultan Mahmud Syah II dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah di Kerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakuinya bahwa beliau adalah putra Sultan Mahmud Syah II. Raja Kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putra Sultan dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1760 M). sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Kecil memerintah Siak tahun (17722-1746 M). Kerajaan Pelalawan yang telah melepaskan diri dari ikatan Kerajaan Johor, diserang oleh Kerajaan Siak pada masa Sultan Syarif Ali (1784-1811 M). Serangan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali dapat menaklukkan kerajaan Pelalawan. Sultan Said Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan yang disebut “Begito&rdquo (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan pada saat itu. Said Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman, saudara dari Syarif
Ali Sultan Siak, sampai kepada Raja Pelalawan terakhir.
1.      Syarif Abdurrahman (1798-1822 M)
2.      Syarif Hasyim (1822-1828 M)
3.      Syarif Ismail (1828-1844 M)
4.      Syarif Ismail (1844-1866 M)
5.      Syarif Ja’afar (1866-1872 M)
6.      Syarif Abubakar (1872-1886 M)
7.      Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 M)
8.      Syarif Hasyim II (1892-1930 M)
9.      Tengku Said Osman (Pemangku Sultan) (1930-1941 M)
10.  Syarif Harun (1941-1946 M)
Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia, Tengku Said Harun bersama orang besar Kerajaan Pelalawan menyampaikan pernyataan taat setia dan bersatu dalam Negara Republik Indonesia yaitu pada tanggal 20 Oktober 1945. Setelah mangkat, atas jasa-jasanya beliau diberi gelar “Marhum Setia Negara&rdquo.